Sabtu, 15/12/2012 10:35 WIB
Maidin yang "Buta dan Lupa"
Jakarta - The dog of imperialism. Frasa inilah yang akhir-akhir ini membuat panas kuping sejumlah elit di Indonesia. Gara-garanya, kalimat itu ditujukan untuk mantan Presiden RI ke-3, Baharudin Jusuf Habibie. Penulisnya adalah Tan Sri Zainudin Maidin, mantan Menteri Penerangan Malaysia. Walaupun tulisan Maidin bukan sikap resmi Kuala Lumpur, tetap saja frasa tersebut terlalu kasar sebagai bahasa diplomasi. Apalagi ditilik dari rekam jejak hubungan kedua negara dalam beberapa tahun terakhir, riak-riak selalu menyertai, mulai dari isu TKI, Sipadan-Ligitan, Ambalat, hingga reog. Maka jangan heran jika orang Indonesia sangat sensitif jika ada komentar miring dari jirannya itu.
Terkait kedatangan Habibie di Malaysia, itu atas undangan tokoh oposisi Malaysia, Anwar Ibrahim. Beliau didaulat untuk memberikan ceramah di Universiti Selangor. Namun sepertinya hal tersebut tak mendapat restu pemerintah setempat yang dikuasai UMNO. Anwar selama ini dianggap sebagai tokoh reformis Malaysia yang “menganggu” status quo. Beragam cara digunakan pihak penguasa untuk menekan Anwar. Mulai dari isu rekening miliaran ringgit hingga yang menghebohkan soal sodomi. Namun pada akhirnya pengadilan Malaysia membebaskan Anwar karena tak terbukti. Momen kebebasan Anwar makin menyiutkan nyali penguasa Malaysia. Anwar diramal akan menjadi ikon baru demokrasi Malaysia yang hingga kini berjalan bak siput—terlalu lamban. Di sisi lain, kalangan muda dan kelas menengah Malaysia mulai mendukung Anwar. Mereka tak mau dibodohi oleh rejim yang terlalu takut dengan demokrasi.
Lebih-lebih, hubungan Anwar dengan sejumlah tokoh reformis Indonesia dikenal dekat. Ia bersahabat baik dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan bahkan menjadi komentator saat Presiden SBY masuk dalam Time 100, tahun 2006 silam. Anwar juga dekat dengan Amien Rais, Gus Dur dan tokoh-tokoh penting Indonesia lainnya. Suasana demikian tak ia temui di Malaysia, dimana antar tokoh pemerintah dan oposisi bisa berdikusi bersama, saling kritik dan tukar pendapat atas nama demokrasi. Di Indonesia sendiri, partai-partai oposisi bebas mengundang tokoh-tokoh dari luar negeri, menggelar diskusi, kritik, bahkan demonstrasi. Semua disikapi sebagai bagian dari keniscayaan demokrasi. Pada akhirnya iklim yang demikian, akan membuat bangsa ini dewasa dan siap dengan perbedaan. Kembali ke Anwar, salah satu tokoh penting lain yang tak pernah lupa dikunjungi Anwar saat di Jakarta adalah BJ Habibie.
Mengapa Anwar dan Partai Keadilan Rakyat Malaysia (PKR) dekat dengan Indonesia? Mereka sadar bahwa kekolotan politik yang anti demokrasi tak akan bisa bertahan lama. Malaysia sekarang boleh mengklaim ekonomi mereka stabil dan terus tumbuh. Namun itu bukan jaminan stabilitas. Kelas menengah dan kalangan terdidik di sana juga memiliki hak-hak politik yang harus diberi saluran. Maka dua kali demonstrasi besar berujung kerusuhan dalam tiga tahun terakhir menunjukkan tak semua klaim tersebut liear dengan realita. Di sisi lain, Indonesia yang sempat terpuruk pasca reformasi—dan berkomitmen menggelar demokrasi—kini terus menunjukkan performance positif dalam ekonomi.
Indonesia kini adalah negara dengan GDP nomor 16 di dunia, yakni sebesar US $ 800 Milyar. Makanya kita sekarang masuk kelompok G-20, forum strategis yang menentukan arah pembangunan ekonomi dunia. Indonesia juga sedikit dari negara yang ekonominya terus tumbuh di tengah ketidakpastian global. Saat ini pertumbuhan kita mencapai 6,5%, jauh di atas Malaysia. Investment grade Indonesia pun—yang diberikan R&I, Moddy’s dan Fitch—terus membaik dan bahkan masuk kategori "layak investasi".
Tak hanya di bidang ekonomi, Indonesia juga dipandang sebagai "cermin demokrasi" bagi negara-negara berkembang. Keberadaan Bali Democracy Forum (BDF) yang setiap tahunnya menjadi ajang sharing demokrasi negara-negara non Barat membuktikan kita menjadi kutub baru demokrasi Asia. Bahkan tahun 2012 ini, BDF dihadiri 14 pemimpin tertinggi (kepala Negara) dan 43 delegasi lainnya. Penasbihan Indonesia sebagai negara demokrasi sudah muncul bebeapa tahun lalu, ketika Freedom House menyamakan level demokrasi Indonesia dengan negara-negara Barat yang demokrasinya sudah maju.
The point is, Indonesia yang awalnya tertatih, dimana ekonominya terpuruk di awal-awal reformasi, kini mampu bangkit dan tumbuh dengan menerapkan demokrasi. Hal ini juga sekaligus antitesa bagi sebagian kalangan yang percaya demokrasi di dunia ketiga (negara berkembang) berlawanan dengan kinerja ekonomi.
Mengenai isu Timor Timur yang diangkat Maidin, ia seakan “buta” sejarah Indonesia. Sebagai mantan menteri, seharusnya ia tahu bahwa kasus Timor Timur tak sesederhana tuduhannya kepada Habibie yang ia sebut sebagai “pengkhianat”. Rakyat Indonesia menjadi saksi bagaimana Habibie berani membuka pintu bagi demokrasi di Indonesia. Sejak itu era otoritarian orde baru yang mencekam dapat diakhiri. Lepasnya Timor Timur pada 1999 lebih disebabkan tiga hal, pertama, sejarah Timor sendiri yang berbeda dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Kedua, kegagalan pendekatan keamanan ala orde baru yang otoriter. Ketiga, kemungkinan adanya “intervensi” dalam jajak pendapat, dimana penghitungan dilakukan di New York, dan bukan di Dili ataupun Jakarta. Jadi Habibie di sini hanya ketiban tanggung jawab untuk memimpin Indonesia di tengah keterpurukan ekonomi dan keterbukaan politik sekaligus. Sebuah era yang sangat tidak mudah.
Rakyat Timor Leste kini juga melihat Indonesia sebagai negara sahabat. Kedua pemimpin negara sepakat menyelesaikan problem masa lalu melalui dialog dan rekonsiliasi. Para pengusaha Indonesia juga banyak masuk ke Timor Leste untuk membantu derap ekonomi negara baru tersebut. Tak ada dendam, tak ada permusuhan. Bahkan Xanana Guamao dan Ramos Horta, dua pemimpin Timor berkali-kali datang ke Jakarta dan Bali untuk membangun hubungan baik. Presiden SBY saat melawat ke Dili pertengahan tahun ini disambut sebagai “tamu agung” dengan perayaan besar di sepanjang jalan. Ini menunjukkan bahwa demokrasi dan dialog bisa menjadi elemen soft power yang menentukan dalam diplomasi modern. Jika demikian keadannya, dapat disimpulkan bahwa tuduhan Maidin benar-benar lucu dan ahistoris. Atau ada agenda lain? Mungkin saja.
Sebab kalau kita cermati lebih dalam, serangan Maidin sejatinya bukan ke Habibie. Mantan Presiden ketiga Indonesia itu hanya dijadikan media untuk menyerang lawan politiknya di dalam negeri yang paling tangguh: Anwar Ibrahim. Sebagaimana di atas, Anwar tak mudah ditundukkan dengan berbagai cara, bahkan sekarang popularitasnya terus menanjak. Apalagi setelah “serangan isu sodomi” tak terbukti. Anwar sendiri mengatakan bahwa artikel Maidin tersebut menunjukkan bahwa UMNO sangat panik. Kedatangan Habibie demikian dikhawatirkan akan mampu memompa semangat perlawanan para pemuda dan mahasiswa Malaysia. Ia juga menyamakan rejim UMNO dengan orde baru yang tumbang di Indonesia. Akankah ini tanda bahwa UMNO akan tumbang? Rakyat Malaysia yang bisa menjawabnya.
Sementara di pusat keramaian Jakarta, sejumlah remaja dan orang tua tengah berkumpul untuk mengantri tiket. Mereka tak sabar menyaksikan film yang diprediksi akan “meledak” di pasaran di akhir tahun ini. Sebuah cerita tentang tokoh besar dalam sejarah Indonesia. Tak melulu cerita heroik, tapi justru tentang perjalanan cinta, kesetiaan dan pengorbanan anak manusia. “Habibie dan Ainun”, itulah judul film yang tengah happening di Indonesia saat ini. Film tentang betapa idealnya hubungan Habibie dan istrinya Ainun hingga ajal memisahkan keduanya.
Di lantai lobi XXI Premiere, kritik Maidin tak banyak “dianggap sesuatu” oleh kaum muda Indonesia. Mereka tetap ramai mengantri. Mereka melihat Habibie sebagai sosok yang berjasa besar dalam pembangunan dan perubahan Indonesia. Bapak teknologi, Bapak demokrasi. "Ah Maidin… kemana aja selama ini hingga tak tahu reputasi BJ Habibie".
*) Zaenal A Budiyono, Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC) Indonesia
(gah/gah)
INDONESIA MEMANG DURI DALAM DAGING DAN TERLALU GEMAR MENYUSAHKAN MALAYSIA. BILA SUSAH DAN PAYAH SERTA KEADAAN SUKAR, PANDAI PULAK MENGGUNAKAN UNGKAPAN SERUMPUN ETC. HELLO INDON... KITA SERUMPUN BAHASA SAHAJA, BANGSA TIDAK PERNAH SERUMPUN, JAUH PANGGANG DRP API....
ReplyDeletehaha.. serumpun bahasa? pun belum tentu.. mereka cilok bahasa melayu sebagai kononnya bahasa pemersatuan sebab nak gula-gulakan Malaya pada zaman dulu dan memberi nama bahasa indonesia..
ReplyDeleteTulisan Zam bukan bertujuan mengutuk negara Indonesia tetapi hanya kepada Habibie yang dilihat datang ke simi memberikan sokongan kepada Anwar di ambang PRU13.
ReplyDeleteBaru satu tulisan menghentam Habibie sudah cukup membuatkan indon-indon keparat ni melenting kepanasan.
ReplyDeleteYang kau orang selalu menghina Malaysia dengan membakar jalur gemilang tu, macammana tu ??
Tak perasan ke ??....atau kau orang sememangnya goblok !!
Di indon ni ada ongkos semua bisa. Anuwar banyak ongkosnya disana, makanya banyak yg bisa dilakukan. Heran aku tengok, kenapela pak2 indon ni suka bangat denagn pak anuwar, tak ada sebab melainkan ongkosnya lebat gitu.
ReplyDeleteYELAH....MALAYSIA BODOH SKUNK NIE MELAYU JADI ANJING UNTUK CINA...WEI SKUNK NIE UMNO MNE ADE NK TEGAKKAN MELAYU DIOANG NK TEGAKKAN DUIT DLM POKET...TPI KNP MAIDIN SENGAL,CELAKA,BABI,ANJING BUSUK,PUKIMAK AND ANOTHER BULLSHIT MENGGELAR PAKAR TEKNOLOGI INDONESIA INI ANJING IMPERIALIS....WEI MMG PATUT DIAONG BAKAR JALUR GEMILANG SB JALUR GEMILANG BUKN BENDERA KITE MEREKE BOLE MENGUMPAMEKAN MALAYSIA SBGAI NEGARE KESATUAN AMERIKA ASIA...ORDE BARU UMNO PADE ERA KEMERDEKAAN YG MMBUAT KITE NGN INDONESIA JADI MUSUH...NIE SUME RANCANGAN UMNO NK TNGK HUBUNGAN MALAYSIA-INDONESIA PUNAH...MELAYU MASIH LAGI BODOH DALAM KEHANYUTAN SEMASA...SO RENUNGKANLAH...KALO MELAYU PERINTAH TPI RAKYAT JDI HAMBA UNTOK CINA AND INDIA BUAT APE...LBIH BAEK DIOANG SUSAH SENANG BANGSE INDONESIA NO.1 DIATAS...MELAYU MALAYSIA CAM TAPIR....SO RENUNGKANLAH
ReplyDelete