Dari hitung cepat sementara dengan sampel data yang masuk 90,35 persen, hanya dua partai yang unggul dalam perolehan suara yakni PDI Perjuangan 19,77 persen dan Golkar 14,61 persen. Kemudian disusul oleh partai Gerindra dengan perolehan suara 11,80 persen.
Direktur Eksekutif LSI Denny Januar Ali, Rabu malam 9 April 2014, menilai semua partai politik itu butuh berkoalisi untuk mengusung calon presiden pada Pemilu Presiden 9 Juli nanti.
"Saya kira partai politik akan berkoalisi untuk mengusung capres mereka," kata Denny di Kantor LSI, Rawamangun, Jakarta Timur.
Denny menilai PDIP dan Golkar akan memimpin koalisi. Partai pemimpin koalisi tentu membutuhkan sedikitnya lima hal yang harus dipunyai cawapres yang akan digaet para capres.
Pertama, sosok cawapres yang bisa membantu menambah suara untuk capres. Kedua, cawapres yang mampu memperkuat mesin politik. Ketiga, tokoh yang kapabel di pemerintahan. Keempat, dari faktor keseimbangan primordial. Kelima, cawapres yang mampu menambah dana.
Lantas jika Jokowi jadi capres, dia butuh dua kriteria untuk pasangannya. "Jokowi butuh tambahan suara dan sosok yang kapabel di pemerintahan," kata Denny.
Kalaupun ada cawapres yang bisa memenuhi kelima kriteria itu, kata Denny, sangat baik untuk Jokowi. "Kalau cawapresnya hanya dua atau tiga kriteria saja, maka PDIP akan mempertimbangkan," ujarnya.
Jokowi tak sekuat SBY
Denny membandingkan, Jokowi tidak sekuat Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilu 2009 lalu.
Menurutnya, popularitas dan elektabilitas Jokowi sekarang hanya 40 persen. Sedangkan SBY pada April 2009 dulu sebesar 60 persen.
"Makanya ketika itu SBY jika dipasangkan dengan siapapun pasti bisa menang. Kalau Jokowi sekarang belum tentu seperti itu," kata Denny.
Denny menjelaskan, popularitas Jokowi sedikit menurun seiring kampanye negatif yang dilancarkan lawan politik.
"Berdasarkan survei kami terhadap Jokowi, baru pertama kali suara Jokowi menurun. Dulu selalu naik dia. Kita tidak tahu apakah Juli nanti suaranya akan naik seperti sebelumnya," tuturnya.
Menurut Denny, ada dua kampanye negatif yang membuat popularitas Jokowi merosot. Pertama, janji Jokowi menjalankan tugasnya sebagai gubernur hingga akhir masa jabatan. Kedua, masalah Transjakarta.
"Kalau black campaign justru bikin orang simpati kepada Jokowi. Yang membuat jokowi turun adalah negatif campaign. Black campaign itu fitnah, kalau negatif campaign itu nyata, tapi yang negatif soal Jokowi," katanya. (umi)