Saturday, December 15, 2012

Dinasti Lim Kukuhkan Kedudukan Dalam DAP

Dinasti Lim mengukuhkan penguasaan mereka ke atas DAP,parti 'demokratik' chauvinis Cina yang turut menampilkan Karpal Singh bagi menunjukkan parti itu sebagai  'parti  semua kaum'.

Tan Seng Giaw, ahli parlimen Kepong, yang juga Timbalan Pengerusi DAP, kalah dalam pemilihan kali ini. Mungkin kefasihannya dalam berbahasa Melayu dan kecenderungannya menerima pelawaan temubual TV arus perdana, tidak disukai oleh ahli-ahli DAP yang chauvinis.

Turut kalah ialah penyokong kuat Tamil Eelam di Sri Lanka, P. Ramasamy dan semua calon Melayu yang otai dalam parti tersebut.

'DAP' menjadi trending di Twitter berikutan kecaman-kecaman publik atas keputusan kemenangan anak beranak di dalam parti demokratik ala chauvinis Cina itu.

Imej Berita Harian

Seng Giaw, P Ramasamy tewas pemilihan CEC DAP


GEORGETOWN: Timbalan Pengerusi DAP, Dr Tan Seng Giaw yang juga Ahli Parlimen Kepong tewas dalam pemilihan Jawatankuasa Eksekutif Pusat (CEC) parti itu, sebentar tadi. 

Seng Giaw menerima 802 undi manakala Timbalan Ketua Menteri II Pulau Pinang, P Ramasamy turut tewas dalam pemilihan kali ini dengan menerima 746 undi. 

Indonesia Balas Artikel Zainuddin Maidin, Dengan Nada Anwar Ibrahim?


Sabtu, 15/12/2012 10:35 WIB

Maidin yang "Buta dan Lupa"

Zaenal A Budiyono - detikNews


Jakarta - The dog of imperialism. Frasa inilah yang akhir-akhir ini membuat panas kuping sejumlah elit di Indonesia. Gara-garanya, kalimat itu ditujukan untuk mantan Presiden RI ke-3, Baharudin Jusuf Habibie. Penulisnya adalah Tan Sri Zainudin Maidin, mantan Menteri Penerangan Malaysia. Walaupun tulisan Maidin bukan sikap resmi Kuala Lumpur, tetap saja frasa tersebut terlalu kasar sebagai bahasa diplomasi. Apalagi ditilik dari rekam jejak hubungan kedua negara dalam beberapa tahun terakhir, riak-riak selalu menyertai, mulai dari isu TKI, Sipadan-Ligitan, Ambalat, hingga reog. Maka jangan heran jika orang Indonesia sangat sensitif jika ada komentar miring dari jirannya itu.

Terkait kedatangan Habibie di Malaysia, itu atas undangan tokoh oposisi Malaysia, Anwar Ibrahim. Beliau didaulat untuk memberikan ceramah di Universiti Selangor. Namun sepertinya hal tersebut tak mendapat restu pemerintah setempat yang dikuasai UMNO. Anwar selama ini dianggap sebagai tokoh reformis Malaysia yang “menganggu” status quo. Beragam cara digunakan pihak penguasa untuk menekan Anwar. Mulai dari isu rekening miliaran ringgit hingga yang menghebohkan soal sodomi. Namun pada akhirnya pengadilan Malaysia membebaskan Anwar karena tak terbukti. Momen kebebasan Anwar makin menyiutkan nyali penguasa Malaysia. Anwar diramal akan menjadi ikon baru demokrasi Malaysia yang hingga kini berjalan bak siput—terlalu lamban. Di sisi lain, kalangan muda dan kelas menengah Malaysia mulai mendukung Anwar. Mereka tak mau dibodohi oleh rejim yang terlalu takut dengan demokrasi.

Lebih-lebih, hubungan Anwar dengan sejumlah tokoh reformis Indonesia dikenal dekat. Ia bersahabat baik dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan bahkan menjadi komentator saat Presiden SBY masuk dalam Time 100, tahun 2006 silam. Anwar juga dekat dengan Amien Rais, Gus Dur dan tokoh-tokoh penting Indonesia lainnya. Suasana demikian tak ia temui di Malaysia, dimana antar tokoh pemerintah dan oposisi bisa berdikusi bersama, saling kritik dan tukar pendapat atas nama demokrasi. Di Indonesia sendiri, partai-partai oposisi bebas mengundang tokoh-tokoh dari luar negeri, menggelar diskusi, kritik, bahkan demonstrasi. Semua disikapi sebagai bagian dari keniscayaan demokrasi. Pada akhirnya iklim yang demikian, akan membuat bangsa ini dewasa dan siap dengan perbedaan. Kembali ke Anwar, salah satu tokoh penting lain yang tak pernah lupa dikunjungi Anwar saat di Jakarta adalah BJ Habibie.

Mengapa Anwar dan Partai Keadilan Rakyat Malaysia (PKR) dekat dengan Indonesia? Mereka sadar bahwa kekolotan politik yang anti demokrasi tak akan bisa bertahan lama. Malaysia sekarang boleh mengklaim ekonomi mereka stabil dan terus tumbuh. Namun itu bukan jaminan stabilitas. Kelas menengah dan kalangan terdidik di sana juga memiliki hak-hak politik yang harus diberi saluran. Maka dua kali demonstrasi besar berujung kerusuhan dalam tiga tahun terakhir menunjukkan tak semua klaim tersebut liear dengan realita. Di sisi lain, Indonesia yang sempat terpuruk pasca reformasi—dan berkomitmen menggelar demokrasi—kini terus menunjukkan performance positif dalam ekonomi.

Indonesia kini adalah negara dengan GDP nomor 16 di dunia, yakni sebesar US $ 800 Milyar. Makanya kita sekarang masuk kelompok G-20, forum strategis yang menentukan arah pembangunan ekonomi dunia. Indonesia juga sedikit dari negara yang ekonominya terus tumbuh di tengah ketidakpastian global. Saat ini pertumbuhan kita mencapai 6,5%, jauh di atas Malaysia. Investment grade Indonesia pun—yang diberikan R&I, Moddy’s dan Fitch—terus membaik dan bahkan masuk kategori "layak investasi". 

Tak hanya di bidang ekonomi, Indonesia juga dipandang sebagai "cermin demokrasi" bagi negara-negara berkembang. Keberadaan Bali Democracy Forum (BDF) yang setiap tahunnya menjadi ajang sharing demokrasi negara-negara non Barat membuktikan kita menjadi kutub baru demokrasi Asia. Bahkan tahun 2012 ini, BDF dihadiri 14 pemimpin tertinggi (kepala Negara) dan 43 delegasi lainnya. Penasbihan Indonesia sebagai negara demokrasi sudah muncul bebeapa tahun lalu, ketika Freedom House menyamakan level demokrasi Indonesia dengan negara-negara Barat yang demokrasinya sudah maju.

The point is, Indonesia yang awalnya tertatih, dimana ekonominya terpuruk di awal-awal reformasi, kini mampu bangkit dan tumbuh dengan menerapkan demokrasi. Hal ini juga sekaligus antitesa bagi sebagian kalangan yang percaya demokrasi di dunia ketiga (negara berkembang) berlawanan dengan kinerja ekonomi.

Mengenai isu Timor Timur yang diangkat Maidin, ia seakan “buta” sejarah Indonesia. Sebagai mantan menteri, seharusnya ia tahu bahwa kasus Timor Timur tak sesederhana tuduhannya kepada Habibie yang ia sebut sebagai “pengkhianat”. Rakyat Indonesia menjadi saksi bagaimana Habibie berani membuka pintu bagi demokrasi di Indonesia. Sejak itu era otoritarian orde baru yang mencekam dapat diakhiri. Lepasnya Timor Timur pada 1999 lebih disebabkan tiga hal, pertama, sejarah Timor sendiri yang berbeda dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Kedua, kegagalan pendekatan keamanan ala orde baru yang otoriter. Ketiga, kemungkinan adanya “intervensi” dalam jajak pendapat, dimana penghitungan dilakukan di New York, dan bukan di Dili ataupun Jakarta. Jadi Habibie di sini hanya ketiban tanggung jawab untuk memimpin Indonesia di tengah keterpurukan ekonomi dan keterbukaan politik sekaligus. Sebuah era yang sangat tidak mudah.

Rakyat Timor Leste kini juga melihat Indonesia sebagai negara sahabat. Kedua pemimpin negara sepakat menyelesaikan problem masa lalu melalui dialog dan rekonsiliasi. Para pengusaha Indonesia juga banyak masuk ke Timor Leste untuk membantu derap ekonomi negara baru tersebut. Tak ada dendam, tak ada permusuhan. Bahkan Xanana Guamao dan Ramos Horta, dua pemimpin Timor berkali-kali datang ke Jakarta dan Bali untuk membangun hubungan baik. Presiden SBY saat melawat ke Dili pertengahan tahun ini disambut sebagai “tamu agung” dengan perayaan besar di sepanjang jalan. Ini menunjukkan bahwa demokrasi dan dialog bisa menjadi elemen soft power yang menentukan dalam diplomasi modern. Jika demikian keadannya, dapat disimpulkan bahwa tuduhan Maidin benar-benar lucu dan ahistoris. Atau ada agenda lain? Mungkin saja.

Sebab kalau kita cermati lebih dalam, serangan Maidin sejatinya bukan ke Habibie. Mantan Presiden ketiga Indonesia itu hanya dijadikan media untuk menyerang lawan politiknya di dalam negeri yang paling tangguh: Anwar Ibrahim. Sebagaimana di atas, Anwar tak mudah ditundukkan dengan berbagai cara, bahkan sekarang popularitasnya terus menanjak. Apalagi setelah “serangan isu sodomi” tak terbukti. Anwar sendiri mengatakan bahwa artikel Maidin tersebut menunjukkan bahwa UMNO sangat panik. Kedatangan Habibie demikian dikhawatirkan akan mampu memompa semangat perlawanan para pemuda dan mahasiswa Malaysia. Ia juga menyamakan rejim UMNO dengan orde baru yang tumbang di Indonesia. Akankah ini tanda bahwa UMNO akan tumbang? Rakyat Malaysia yang bisa menjawabnya.

Sementara di pusat keramaian Jakarta, sejumlah remaja dan orang tua tengah berkumpul untuk mengantri tiket. Mereka tak sabar menyaksikan film yang diprediksi akan “meledak” di pasaran di akhir tahun ini. Sebuah cerita tentang tokoh besar dalam sejarah Indonesia. Tak melulu cerita heroik, tapi justru tentang perjalanan cinta, kesetiaan dan pengorbanan anak manusia. “Habibie dan Ainun”, itulah judul film yang tengah happening di Indonesia saat ini. Film tentang betapa idealnya hubungan Habibie dan istrinya Ainun hingga ajal memisahkan keduanya.

Di lantai lobi XXI Premiere, kritik Maidin tak banyak “dianggap sesuatu” oleh kaum muda Indonesia. Mereka tetap ramai mengantri. Mereka melihat Habibie sebagai sosok yang berjasa besar dalam pembangunan dan perubahan Indonesia. Bapak teknologi, Bapak demokrasi. "Ah Maidin… kemana aja selama ini hingga tak tahu reputasi BJ Habibie".
*) Zaenal A Budiyono, Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC) Indonesia
(gah/gah) 

BJ Habibie Tak Sama Dengan Anwar?



Saya terpanggil untuk menjelaskan tulisan Tan Sri Zainudin Maidin atau Zam terhadap bekas Presiden Indonesia Ketiga, Dr. Bacharuddin Jusuf Habibie (BJ Habibie) dalam Utusan Malaysia, Isnin, 10 Disember 2012, bertajuk 'Persamaan BJ Habibie dengan Anwar Ibrahim'. Rencana ini ditulis bersempena penghormatan yang diberikan oleh Anwar Ibrahim, untuk memberi ceramah di Universiti Selangor (Unisel).

Saya setuju dengan Ahli Parlimen Kulim-Bandar Baharu yang juga Naib Presiden Pertubuhan Pribumi Perkasa Malaysia (Perkasa) yang mengatakan bahawa Anwar tidak patut memperkudakan Habibie kerana rakyat Malaysia sudah cukup matang untuk menilai sesuatu perkara dan beliau mengingatkan Anwar supaya mendepani rakyat dengan keupayaan sendiri, tanpa perlu selindung di balik orang luar.

Untuk mengetahui siapa sebenarnya Habibie, Zam boleh membaca dua buah buku yang pernah saya tulis, Genaral Wiranto: The Man Emerging from the Midst of Indonesian Reformation, terbitan tahun 1999 dan Gus Dur: A Peculiar Leader in Indonesia's Political Agony, terbitan tahun 2001. Saya berada di Jakarta pada pertengahan 1997 hingga akhir 1999.

Pengkajian dan pemahaman yang mendalam tentang senario politik Indonesia, saat-saat terakhir pemerintahan Presiden Suharto hingga kuasa politik negara diambil alih oleh seorang pemimpin yang cacat penglihatannya bertaraf ulama, Gus Dur, sudah tentu Zam tidak sanggup menyamakan Habibie dengan Anwar.

Kalau masih ada rakyat di Malaysia yang tidak mengenali Anwar dan masih menyokong beliau, samalah Habibie mungkin tidak mengenal Anwar. Anwar disingkirkan daripada jawatannya sebagai Timbalan Perdana Menteri setelah beberapa bulan Habibie menjadi Presiden Indonesia.

Kalau banyak media asing malahan pelajar Malaysia yang berada di luar negara menyanjungi Anwar, samalah Habibie yang tinggal di Jerman tentu akan menerima pelawaan Anwar untuk memberi ceramah di Unisel.

Andai Zam mengenali Habibie dan menulis tanpa ada agenda politik, Zam tidak akan membuat tuduhan yang mengatakan bahawa Habibie menjadi gunting dalam lipatan terhadap Presiden Suharto. Presiden Suhartolah yang membawa beliau kembali dari Jerman untuk kemudiannya menjadi wakil Presiden Indonesia.

Habibie telah menjadikan Presiden Suharto sebagai seorang saudara tua yang dihormati dan tidak mungkin akan mengkhianatinya. Zam menyatakan Habibie tersingkir kerana mengkhianati negara disebabkan beliau bersetuju dengan desakan Barat supaya mengadakan pungutan suara ke atas penduduk Timor Timur yang masih dalam wilayah Indonesia, menyebabkan Timor Timur terkeluar daripada negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1999.

Zam juga menyebut, Habibie mengakhiri jawatan dalam kehinaan setelah menjadi presiden sejak 20 Oktober 1999. Sebenarnya Habibie menjadi Presiden Indonesia pada 21 Mei 1998.

Zam tidak sepatutnya mengeluarkan kenyataan bahawa Habibie juga menyebabkan berlakunya perpecahan rakyat Indonesia kepada 48 parti politik yang mengakibatkan keadaan politik negara itu dalam porak peranda hingga kini. Hakikatnya, kepelbagaian parti politik di Indonesia ketika ini lebih baik dari segi demokrasi berbanding hanya dimonopoli oleh satu-satu parti sahaja.

Di sinilah peranan Habibie sebagai seorang pemimpin negara yang bertanggungjawab membuat reformasi politik di Indonesia. Zam juga melabelkan Habibie sebagai The Dog of Imperialism.

Beliau seorang pemimpin Islam yang tulen yang banyak membela nasib majoriti penduduk pribumi Indonesia yang beragama Islam. Habibie adalah pengasas pertubuhan Islam, ICMI (The Indonesian Muslim Intellectuals Association), yang mempunyai peranan dalam meningkatkan dasar-dasar Islam di Indonesia di bawah pimpinan Presiden Suharto.

Semasa menjadi Presiden Indonesia, Habibie menghadapi dua tugas yang besar iaitu memulihkan ekonomi negara dan menyediakan mekanisme untuk pemulihan demokrasi terutama desakan mengadakan pilihan raya umum secara demokratik secepatnya. Pilihan raya yang seharusnya diadakan pada tahun 2003, berjaya dipercepatkan iaitu pada tahun 1999.

Selepas sahaja mengangkat sumpah sebagai Presiden Indonesia, kenyataan beliau yang paling tidak disenangi oleh kaum minoriti Cina Indonesia ialah, "sesuatu yang tidak dapat diterima akal, apabila minoriti Cina Indonesia yang hanya empat peratus telah menguasai hampir 80 peratus ekonomi Indonesia."

Itulah permulaan nasib buruk Habibie, apabila golongan ini yang bukan sahaja menguasai ekonomi, juga media telah berjaya merendahkan/memburukkan kredibiliti Habibie bukan sahaja dalam kalangan rakyat Indonesia juga dalam kalangan masyarakat antarabangsa. Habibie terpaksa mengetepikan mega projek yang berkaitan pembangunan teknologi dengan memberi keutamaan kepada kebajikan rakyat jelata yang terdiri daripada kalangan pribumi yang beragama Islam.

Penekanan diberikan kepada penyediaan barang-barang keperluan, perubatan, pendidikan dan membasmi kemiskinan dalam kemelut ekonomi yang dahsyat akibat krisis ekonomi dunia dan juga akibat pengaliran wang oleh minoriti Cina Indonesia yang menjadi sasaran rusuhan pada bulan Mei 1998, yang membawa kepada peletakan jawatan Presiden Suharto.

Habibie telah menjadikan idea 'Dasar Ekonomi Baru' (DEB) yang diperkenalkan oleh Tun Abdul Razak di Malaysia sebagai mekanisme untuk memperbaiki kehidupan majoriti penduduk pribumi Indonesia yang beragama Islam.

Habibie sedar kesalahan yang dilakukan oleh Presiden Suharto yang mementing keluarganya dan memberi peluang seluas-luasnya kepada korporat minoriti Cina Indonesia untuk menguasai ekonomi kerana Suharto percaya golongan minoriti Cina Indonesia sahaja yang dapat membangunkan dan memajukan ekonomi Indonesia. Pinjaman besar-besaran diberikan kepada golongan ini tanpa dikenakan cagaran. Di sini bermulanya kegiatan korupsi dan nepotisme.

Zam seharusnya sedar bahawa selepas terjadinya rusuhan, golongan minoriti Cina Indonesia menjadi sasaran serangan rusuhan kerana kaum pribumi merasakan mereka ditindas dan dieksploitasi oleh golongan ini. Mereka terpaksa lari keluar negara dengan membawa wangnya sekali ke negara-negara Barat dan banyak juga yang mengalir ke Singapura. Hal ini telah membawa padah kepada ekonomi Indonesia, nilai rupiah jatuh daripada Rp3,000 ke paras Rp16,000 untuk AS$1.

Habibie berjaya menstabilkan dan menaikkan nilai wang rupiah ke paras Rp6,000 bersamaan AS$1 seperti yang dicatatkan pada akhir era pemeritahan beliau selama 17 bulan.

Oleh sebab media-media utama di Indonesia dimiliki dan kuasai oleh korporat minoriti Cina Indonesia dan pribumi yang beragama Kristian, kredibiliti Habibie sebagai Presiden Indonesia dipersoalkan. Mereka mahukan pemimpin seperti Megawati, ketua parti PDI-P (Parti Demokratik Indonesia - Perjuangan). Parti ini mewakili puak nasionalis dan Kristian, dan mendapat sokongan kewangan daripada korporat minoriti Cina Indonesia.
Gus Dur menjadi Presiden Indonesia, adalah suatu kompromi antara parti-parti Islam dan mendapat sokongan daripada golongan nasionalis dan pribumi bukan Islam.

Zam mungkin sedar bahawa Gus Durlah yang banyak mempunyai persamaan dengan beberapa pemimpin PKR. Beliau ialah ulama yang mengetuai suatu pertubuhan Islam yang besar dan berpengaruh - Nadhlatul Ulama (NU). Beliau pernah menubuhkan Forum Demokrasi (Fordem) untuk mencabar kehadiran ICMI, yang diketuai oleh Habibie. Fordem terdiri daripada golongan intelek Indonesia berbagai-bagai agama.
Walaupun hampir buta, Presiden seperti ini yang dikehendaki oleh golongan minoriti Cina Indonesia dan masyarakat antarabangsa. Kepercayaan Gus Dur kepada sekularisme menyebabkan beliau mendapat sokongan padu daripada penduduk Indonesia yang bukan beragama Islam.

Habibie tidak dapat mempertahankan kuasa politiknya disebabkan dua isu iaitu 'Terkeluar Timor Timur daripada Indonesia', yang ditentang oleh pihak tentera Indonesia dan 'Skandal Bank Bali', konspirasi yang dilakukan oleh orang kepercayaannya.

Saya kutip beberapa kenyataan media berbahasa Inggeris mengenai BJ Habibie, pada saat akhir pemerintahannya sebagai Presiden Indonesia, yang membuktikan bahawa beliau tidak boleh disamakan dengan Anwar Ibrahim.

"Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh Presiden walaupun beliau seorang sangat bersih dan jujur kerana beliau dikelilingi oleh ramai orang yang tidak bersih." (Far Eastern Economic Review, 9 September 1999).

"Seorang pemimpin yang mempunyai wawasan, berpegang kuat kepada ajaran Islam, tidak mementingkan diri sendiri, beliau hanya mempunyai 17 bulan untuk membantu negaranya keluar daripada kemelut ekonomi. Beliau berjaya membina asas politik yang lebih demokrasi. Habibie melakukannya secara bijaksana dan rasional berlandaskan kepada prinsip agama." (Asiaweek, 22 Oktober 1999)

"Habibie mengharapkan keabsahan pemerintahannya yang berdasarkan prestasi, namun beliau memimpin negara yang dalam persekitaran yang tidak rasional. Habibie telah cuba sedaya upaya untuk mentadbir negara secara rasional tetapi rakyat Indonesia tidak semestinya rasional sebagaimana dirinya. Persoalannya, ketidakrasional ini digambarkan dengan pemilihan seorang pemimpin yang hampir buta sebagai Presiden untuk memimpin negara yang dalam keadaan krisis ekonomi dan sosial yang kritikal? (Indria Samego, political scientist, dalam Jakarta Post 26 Oktober 1999)

Saya tidak hairan kalau Tun Dr. Mahathir Mohamad sanggup menunggu dua jam untuk mendengar ucapannya sebagai seorang ahli teknokrat bukan sebagai seorang ahli politik. Indonesia mempunyai lebih 200 juta penduduk. Tentulah negara ini boleh mengeluarkan beberapa peratus penduduknya yang genius seperti Habibie.

Saya pernah mengikuti ceramah BJ Habibie dan terpegun mendengar kisah pengalamannya. Mungkin Dr. Mahathir juga menghargai Habibie bukan sebagai ahli politik tetapi sebagai ahli teknokrat yang beragama Islam yang telah mengharumkan nama Indonesia dan Islam bukan sahaja di Jerman juga di pentas antarabangsa. Beliau sekarang menetap di Jerman yang bagi saya adalah 'the right place and the right time for the right man'.

p/s : Jelas? Politik negara ini tidaksama dengan politik Indonesia. Menyamakan seorang 'gila kuasa' di negara ini dengan seorang yang 'tak mementingkan kuasa' di sana adalah salah. Menariknya, persamaan Anwar adalah dengan Gus Dur,bukannya BJ Habibie. Sempena lawatan Susilo Bambang Yudhoyono pada 18 Disember ini, tidak perlulah bekas ahli politik yang disanggah ini meneruskan polemik mengheret suara-suara yang tidak dimahukan dari negara itu. Pola pemikiran dan tolak ansur kita telah jauh maju dari mereka. Tidak perlu menarik rakyat ini ke belakang untuk menyamai mereka. TIDAK PERLU JUGA MEMBANGSATKAN ORANG LAIN YANG LEBIH TAHU HANYA KERANA ANDA TIDAK TAHU.

20 Murid, 7 Dewasa Maut Dibunuh Di AS Hari Ini


Amerika Syarikat digemparkan lagi dengan serangan ke atas sekolah. Kali ini 27 orang mati, termasuk 20 orang kanak-kanak apabila seorang pemuda berusia 20 tahun melepaskan tembakan rambang. Kejadian berlaku hari ini di Sekolah Rendah Sandy Hook, Newtown, Connecticut, Amerika Syarikat. Pembunuh kemudian membunuh diri dan angka kematian menjadi 28 orang.

Sandy Hook Elementary shooting leaves 27 dead, law enforcement sources say

By Steve Vogel, Sari Horwitz and David A. Fahrenthold,

NEWTOWN, Conn.--A shooting at an elementary school in this small Connecticut town on Friday morning killed 27 people, including 20 children, police said.

The dead at Sandy Hook Elementary, about 60 miles northeast of New York City, included the suspected gunman. One other person was injured. Police said that the shootings were carried out in two rooms, located in the same section of the school.

They said 18 of the children had died at the scene, and two more died after being taken to hospitals.

In addition, police described a “secondary crime scene,” elsewhere in Newtown, where another adult was found dead. A Connecticut State Police spokesman, Lt. J. Paul Vance said that the second scene was discovered during the investigation into the school shootings. He did not give details about how the two incidents were connected.

Vance did not officially release the gunman’s identity. Law enforcement sources identified him as Adam Lanza, 20, whose mother Nancy was a kindergarten teacher at the school. Nancy Lanza was among the first killed, law enforcement sources said, and many of the young victims were her students.

Dorothy Hanson, who is the suspect’s grandmother and Nancy Lanza’s mother, said in a brief phone interview Friday that she could not fathom the violence that ended their lives.

“I just can’t cope with it right now,” Hanson said through tears. “She was my daughter, and a beautiful girl and I loved her. I just can’t make any more comments than that right now.”

Among the dead was the school’s principal, Dawn Lafferty Hochsprung, according to law enforcement sources. Press reports said Hochsprung had been the school’s principal since 2010, and had been a schools administrator for 12 years before that. Local news organizations reported that she was married, with two daughters and three stepdaughters.

“She was always enthusiastic, always smiling, always game to do anything,” said Kristin Larson, a former secretary of the school’s Parent-Teacher Association. In a phone interview, Larson choked up as she recalled Hochsprung hugging students at the start of the school year. “She wanted them to do well in school,” Larson said, “but she also wanted them to have fun.”

Earlier on Friday, law enforcement sources had misidentified the shooter as Adam’s brother Ryan Lanza, 24. Based on reports from those sources, the Washington Post and many other news outlets also identified Ryan Lanza as the suspected shooter.

Ryan Lanza was taken into custody near his home in Hoboken, N.J. on Friday; news reports showed him being escorted in handcuffs by police. But authorities said they do not believe he was involved in the crime. It was unclear what caused the initial confusion between the brothers.

Police described the school itself as one of the most horrific crime scenes that many had ever encountered, and officials said the first-arriving responders would be given counseling.

Children who were evacuated from the school said later that they had been told to keep their eyes closed until they were outside.

BJ Habibie berbeza dengan Anwar




Saya terpanggil untuk menjelaskan tulisan Tan Sri Zainudin Maidin atau Zam terhadap bekas Presiden Indonesia Ketiga, Dr. Bacharuddin Jusuf Habibie (BJ Habibie) dalam Utusan Malaysia, Isnin, 10 Disember 2012, bertajuk 'Persamaan BJ Habibie dengan Anwar Ibrahim'. Rencana ini ditulis bersempena penghormatan yang diberikan oleh Anwar Ibrahim, untuk memberi ceramah di Universiti Selangor (Unisel).

Saya setuju dengan Ahli Parlimen Kulim-Bandar Baharu yang juga Naib Presiden Pertubuhan Pribumi Perkasa Malaysia (Perkasa) yang mengatakan bahawa Anwar tidak patut memperkudakan Habibie kerana rakyat Malaysia sudah cukup matang untuk menilai sesuatu perkara dan beliau mengingatkan Anwar supaya mendepani rakyat dengan keupayaan sendiri, tanpa perlu selindung di balik orang luar.

Untuk mengetahui siapa sebenarnya Habibie, Zam boleh membaca dua buah buku yang pernah saya tulis, Genaral Wiranto: The Man Emerging from the Midst of Indonesian Reformation, terbitan tahun 1999 dan Gus Dur: A Peculiar Leader in Indonesia's Political Agony, terbitan tahun 2001. Saya berada di Jakarta pada pertengahan 1997 hingga akhir 1999.

Pengkajian dan pemahaman yang mendalam tentang senario politik Indonesia, saat-saat terakhir pemerintahan Presiden Suharto hingga kuasa politik negara diambil alih oleh seorang pemimpin yang cacat penglihatannya bertaraf ulama, Gus Dur, sudah tentu Zam tidak sanggup menyamakan Habibie dengan Anwar.

Kalau masih ada rakyat di Malaysia yang tidak mengenali Anwar dan masih menyokong beliau, samalah Habibie mungkin tidak mengenal Anwar. Anwar disingkirkan daripada jawatannya sebagai Timbalan Perdana Menteri setelah beberapa bulan Habibie menjadi Presiden Indonesia.

Kalau banyak media asing malahan pelajar Malaysia yang berada di luar negara menyanjungi Anwar, samalah Habibie yang tinggal di Jerman tentu akan menerima pelawaan Anwar untuk memberi ceramah di Unisel.

Andai Zam mengenali Habibie dan menulis tanpa ada agenda politik, Zam tidak akan membuat tuduhan yang mengatakan bahawa Habibie menjadi gunting dalam lipatan terhadap Presiden Suharto. Presiden Suhartolah yang membawa beliau kembali dari Jerman untuk kemudiannya menjadi wakil Presiden Indonesia.

Habibie telah menjadikan Presiden Suharto sebagai seorang saudara tua yang dihormati dan tidak mungkin akan mengkhianatinya. Zam menyatakan Habibie tersingkir kerana mengkhianati negara disebabkan beliau bersetuju dengan desakan Barat supaya mengadakan pungutan suara ke atas penduduk Timor Timur yang masih dalam wilayah Indonesia, menyebabkan Timor Timur terkeluar daripada negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1999.

Zam juga menyebut, Habibie mengakhiri jawatan dalam kehinaan setelah menjadi presiden sejak 20 Oktober 1999. Sebenarnya Habibie menjadi Presiden Indonesia pada 21 Mei 1998.

Zam tidak sepatutnya mengeluarkan kenyataan bahawa Habibie juga menyebabkan berlakunya perpecahan rakyat Indonesia kepada 48 parti politik yang mengakibatkan keadaan politik negara itu dalam porak peranda hingga kini. Hakikatnya, kepelbagaian parti politik di Indonesia ketika ini lebih baik dari segi demokrasi berbanding hanya dimonopoli oleh satu-satu parti sahaja.

Di sinilah peranan Habibie sebagai seorang pemimpin negara yang bertanggungjawab membuat reformasi politik di Indonesia. Zam juga melabelkan Habibie sebagai The Dog of Imperialism.

Beliau seorang pemimpin Islam yang tulen yang banyak membela nasib majoriti penduduk pribumi Indonesia yang beragama Islam. Habibie adalah pengasas pertubuhan Islam, ICMI (The Indonesian Muslim Intellectuals Association), yang mempunyai peranan dalam meningkatkan dasar-dasar Islam di Indonesia di bawah pimpinan Presiden Suharto.

Semasa menjadi Presiden Indonesia, Habibie menghadapi dua tugas yang besar iaitu memulihkan ekonomi negara dan menyediakan mekanisme untuk pemulihan demokrasi terutama desakan mengadakan pilihan raya umum secara demokratik secepatnya. Pilihan raya yang seharusnya diadakan pada tahun 2003, berjaya dipercepatkan iaitu pada tahun 1999.

Selepas sahaja mengangkat sumpah sebagai Presiden Indonesia, kenyataan beliau yang paling tidak disenangi oleh kaum minoriti Cina Indonesia ialah, "sesuatu yang tidak dapat diterima akal, apabila minoriti Cina Indonesia yang hanya empat peratus telah menguasai hampir 80 peratus ekonomi Indonesia."

Itulah permulaan nasib buruk Habibie, apabila golongan ini yang bukan sahaja menguasai ekonomi, juga media telah berjaya merendahkan/memburukkan kredibiliti Habibie bukan sahaja dalam kalangan rakyat Indonesia juga dalam kalangan masyarakat antarabangsa. Habibie terpaksa mengetepikan mega projek yang berkaitan pembangunan teknologi dengan memberi keutamaan kepada kebajikan rakyat jelata yang terdiri daripada kalangan pribumi yang beragama Islam.

Penekanan diberikan kepada penyediaan barang-barang keperluan, perubatan, pendidikan dan membasmi kemiskinan dalam kemelut ekonomi yang dahsyat akibat krisis ekonomi dunia dan juga akibat pengaliran wang oleh minoriti Cina Indonesia yang menjadi sasaran rusuhan pada bulan Mei 1998, yang membawa kepada peletakan jawatan Presiden Suharto.

Habibie telah menjadikan idea 'Dasar Ekonomi Baru' (DEB) yang diperkenalkan oleh Tun Abdul Razak di Malaysia sebagai mekanisme untuk memperbaiki kehidupan majoriti penduduk pribumi Indonesia yang beragama Islam.

Habibie sedar kesalahan yang dilakukan oleh Presiden Suharto yang mementing keluarganya dan memberi peluang seluas-luasnya kepada korporat minoriti Cina Indonesia untuk menguasai ekonomi kerana Suharto percaya golongan minoriti Cina Indonesia sahaja yang dapat membangunkan dan memajukan ekonomi Indonesia. Pinjaman besar-besaran diberikan kepada golongan ini tanpa dikenakan cagaran. Di sini bermulanya kegiatan korupsi dan nepotisme.

Zam seharusnya sedar bahawa selepas terjadinya rusuhan, golongan minoriti Cina Indonesia menjadi sasaran serangan rusuhan kerana kaum pribumi merasakan mereka ditindas dan dieksploitasi oleh golongan ini. Mereka terpaksa lari keluar negara dengan membawa wangnya sekali ke negara-negara Barat dan banyak juga yang mengalir ke Singapura. Hal ini telah membawa padah kepada ekonomi Indonesia, nilai rupiah jatuh daripada Rp3,000 ke paras Rp16,000 untuk AS$1.

Habibie berjaya menstabilkan dan menaikkan nilai wang rupiah ke paras Rp6,000 bersamaan AS$1 seperti yang dicatatkan pada akhir era pemeritahan beliau selama 17 bulan.

Oleh sebab media-media utama di Indonesia dimiliki dan kuasai oleh korporat minoriti Cina Indonesia dan pribumi yang beragama Kristian, kredibiliti Habibie sebagai Presiden Indonesia dipersoalkan. Mereka mahukan pemimpin seperti Megawati, ketua parti PDI-P (Parti Demokratik Indonesia - Perjuangan). Parti ini mewakili puak nasionalis dan Kristian, dan mendapat sokongan kewangan daripada korporat minoriti Cina Indonesia.
Gus Dur menjadi Presiden Indonesia, adalah suatu kompromi antara parti-parti Islam dan mendapat sokongan daripada golongan nasionalis dan pribumi bukan Islam.

Zam mungkin sedar bahawa Gus Durlah yang banyak mempunyai persamaan dengan beberapa pemimpin PKR. Beliau ialah ulama yang mengetuai suatu pertubuhan Islam yang besar dan berpengaruh - Nadhlatul Ulama (NU). Beliau pernah menubuhkan Forum Demokrasi (Fordem) untuk mencabar kehadiran ICMI, yang diketuai oleh Habibie. Fordem terdiri daripada golongan intelek Indonesia berbagai-bagai agama.
Walaupun hampir buta, Presiden seperti ini yang dikehendaki oleh golongan minoriti Cina Indonesia dan masyarakat antarabangsa. Kepercayaan Gus Dur kepada sekularisme menyebabkan beliau mendapat sokongan padu daripada penduduk Indonesia yang bukan beragama Islam.

Habibie tidak dapat mempertahankan kuasa politiknya disebabkan dua isu iaitu 'Terkeluar Timor Timur daripada Indonesia', yang ditentang oleh pihak tentera Indonesia dan 'Skandal Bank Bali', konspirasi yang dilakukan oleh orang kepercayaannya.

Saya kutip beberapa kenyataan media berbahasa Inggeris mengenai BJ Habibie, pada saat akhir pemerintahannya sebagai Presiden Indonesia, yang membuktikan bahawa beliau tidak boleh disamakan dengan Anwar Ibrahim.

"Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh Presiden walaupun beliau seorang sangat bersih dan jujur kerana beliau dikelilingi oleh ramai orang yang tidak bersih." (Far Eastern Economic Review, 9 September 1999).

"Seorang pemimpin yang mempunyai wawasan, berpegang kuat kepada ajaran Islam, tidak mementingkan diri sendiri, beliau hanya mempunyai 17 bulan untuk membantu negaranya keluar daripada kemelut ekonomi. Beliau berjaya membina asas politik yang lebih demokrasi. Habibie melakukannya secara bijaksana dan rasional berlandaskan kepada prinsip agama." (Asiaweek, 22 Oktober 1999)

"Habibie mengharapkan keabsahan pemerintahannya yang berdasarkan prestasi, namun beliau memimpin negara yang dalam persekitaran yang tidak rasional. Habibie telah cuba sedaya upaya untuk mentadbir negara secara rasional tetapi rakyat Indonesia tidak semestinya rasional sebagaimana dirinya. Persoalannya, ketidakrasional ini digambarkan dengan pemilihan seorang pemimpin yang hampir buta sebagai Presiden untuk memimpin negara yang dalam keadaan krisis ekonomi dan sosial yang kritikal? (Indria Samego, political scientist, dalam Jakarta Post 26 Oktober 1999)

Saya tidak hairan kalau Tun Dr. Mahathir Mohamad sanggup menunggu dua jam untuk mendengar ucapannya sebagai seorang ahli teknokrat bukan sebagai seorang ahli politik. Indonesia mempunyai lebih 200 juta penduduk. Tentulah negara ini boleh mengeluarkan beberapa peratus penduduknya yang genius seperti Habibie.

Saya pernah mengikuti ceramah BJ Habibie dan terpegun mendengar kisah pengalamannya. Mungkin Dr. Mahathir juga menghargai Habibie bukan sebagai ahli politik tetapi sebagai ahli teknokrat yang beragama Islam yang telah mengharumkan nama Indonesia dan Islam bukan sahaja di Jerman juga di pentas antarabangsa. Beliau sekarang menetap di Jerman yang bagi saya adalah 'the right place and the right time for the right man'.

p/s : Jelas? Politik negara ini tidaksama dengan politik Indonesia. Menyamakan seorang 'gila kuasa' di negara ini dengan seorang yang 'tak mementingkan kuasa' di sana adalah salah. Menariknya, persamaan Anwar adalah dengan Gus Dur,bukannya BJ Habibie. Sempena lawatan Susilo Bambang Yudhoyono pada 18 Disember ini, tidak perlulah bekas ahli politik yang disanggah ini meneruskan polemik mengheret suara-suara yang tidak dimahukan dari negara itu. Pola pemikiran dan tolak ansur kita telah jauh maju dari mereka. Tidak perlu menarik rakyat ini ke belakang untuk menyamai mereka. TIDAK PERLU JUGA MEMBANGSATKAN ORANG LAIN YANG LEBIH TAHU HANYA KERANA ANDA TIDAK TAHU.